Hari itu 15 Februari 2015. Di atas boat yang membawa saya berdua anak bujang dari P. Bunaken menuju kota Manado, sepenuhnya saya menyadari kalau hari itu, di belahan wilayah lain tepatnya di sebuah Pengadilan Agama sedang terjadi pembacaan talak perceraian saya dengan suami.
Saya hanya hadir pada sidang pertama dan kedua di sesi mediasi untuk menyampaikan aspirasi bahwa saya yakin akan meneruskan perpisahan kami. Bahwa tidak ada keberatan apapun, bahwa perpisahan itu sama-sama kami inginkan. Bahwa barangkali, kami akan berhenti saling menyakiti hati dalam diam. Mengakhiri ketidak bahagiaan yang terpendam dan banyak ketidakpuasan yang terbalut kulit luar yang manis.
Tidak diperlukan jasa mediasi dari pihak pengadilan. Selesai urusan, dan move on:-)
Saya mengakui bahwa hati saya begitu keras. Tapi hati saya pun merasa berhak membuat pembelaan, saya memulai dengan hati yang sangat lembut. Bukan sepenuhnya kesalahan saya jika hati ini jadi begitu kerasnya. Tergantung bagaimana cara lelaki membentuknya saja :-)
Saya memilih untuk berhenti menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Juga tidak menyalahkan pihak lainnya.
Mata tidak sama sekali mengeluarkan air mata, pun hati ini.
Hati saya benar-benar sedang menikmati perjalanan liburan bersama anak semataa wayang itu yang hobby menyelam. Saya memilihkan liburan ke Manado saat dia pulang liburan kuliah.
Ironis ya :-)
Di satu sisi sedang menikmati pelangi kehidupan. Di sisi lainnya sedang ada tsunami kehidupan. Ya begitulah ternyata Tuhan bekerja mengurus segala urusan dunia ini dalam waktu bersamaan.
Jika ada laki-laki yang berfikir bahwa perceraian yang terjadi bisa meluluh lantakkan perempuan, mungkin sebagian ada benarnya, tapi ingat ! Itu tidak terjadi pada semua perempuan.
Saya telah memilih untuk kuat menghadapi tsunami kehidupan saya. Dengan proses yang cukup panjang untuk meyakini bahwa saya tidak akan pernah menolah padanya lagi sepanjang hidup dikandung badan, meski rasanya saya pernah sangat mengaguminya dikala usia masih sangat belia.
Takdir itu telah terlewati dengan baik pada 15 Februari 2015 sambil saya bertamasya di Pulau Bunaken dalam perjalanan liburan ke Manado - Surabaya - Bromo - Malang.
Di balahan lainnya, Maman Mantox bersama istrinya sedang berbahagia atas kehamilan istrinya. Saat itu, saya belum tau ada manusia bernama Maman Sulaeman di tanah Bandung yang model begini. Maman juga belum tau ada saya di dunia ini :D
Hakuna matata, Jangan khawatir. Tuhan tidak pernah berhenti bekerja menyambung-nyambungkan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya, sebab tidak ada satupun yang terjadi secara kebetulan. Semua memang sudah ada lorongnya :-)
Belum genap sebulan saya resmi berpisahdengan suami, 11 Maret 2015 Tuhan menetapkan takdirNYA yang lain di kota Bandung. Mira istri Maman, dipanggil menghadap lebih dulu beserta anak dalam kandungannya. Innalillahi Wainnailaihi Rojiuun.
Jika saya memilih segera bangkit dari kesedihan atas perpisahan, Maman menghadapi ujiannya dengan mengurung diri cukup lama dalam kamar. Menghabiskan tissue berkotak-kotak untuk mengusap airmatanya yang tentu berikut ingus. Dia menghentikan semua pekerjaan yang sedang ditangani, serasa ingin ikutan mati.
Sayangnya, Tuhan tidak menetapkan takdir mati bagi Maman saat itu. Tuhan sedang mempersiapkan dia bertemu dengan orang baru beberapa tahun kemudian ....
Comments